Disparitas Pemidanaan Pada Perkara Tindak Pidana Korupsi (Studi Kasus Putusan Nomor 125/Pid.Sus. TPK/2018/PN.Bdg. dengan Putusan Perkara Nomor 126/Pid.Sus.-TPK/2018/PN.Bdg.)

Authors

  • Zul Azmi Magister Ilmu Hukum, Universitas Islam Nusantara, Indonesia

DOI:

https://doi.org/10.30999/mjn.v10i1.1906

Keywords:

Disparitas, Pidana, Korupsi

Abstract

Criminal disparity’s Issue has actually been a concern of the Supreme Court for a long time. This is evidence through the Supreme Court Circular of the Republic of Indonesia, Number 14 of 2009 concerning the Development of Judge Personnel. Where one of the points in it order the Heads of Appellate Courts should keep the decision disparity from happening. In its implementation, the Circular issued by the Supreme Court seems to proceeding without supervision and evaluation. On the other hand, to reduce the occurrence of criminal disparities is not only the responsibility of the Supreme Court. But also, there are public prosecutors in relation to prosecution in the Court, which in this case is the Attorney General's Office and the KPK. The research methods using include research specifications in the form of descriptive research, the type of research is normative juridical research, approach methods in the form of legislation approach, data collection techniques in the form of literature studies, and data analysis methods are use qualitatively on the impact of criminal disparities on criminal acts of corruption and business overcome them as well as this research is descriptive analysis using data analysis done qualitatively. Results of research the first problem is that disparities will resulting in bring injustice claims through other justice institutions; and has a broad impact because contains a constitutional balance between individual freedom and the right of the state to convict, so that the community and the convicted person victims of judicial caprice as a result of criminal disparity. The second problem is that the factors of criminal disparity in corruption include legislative factors, personal factors of judges, such as religion, education, values and morality as well as the mentality of judges and environmental factors that include political and economic factors. The conclusion is in order to overcome criminal disparities in corrupt acts, special arrangements are needed regarding criminal objectives and guidelines which include the form of criminalization, the size of the conviction, the way of criminalization, matters which incriminate the criminal and mitigate the criminal in the formulation policy of the law.

 

Masalah disparitas pemidanaan sebenarnya sudah menjadi perhatian Mahkamah Agung sejak lama. Hal ini dibuktikan melalui Surat Edaran Mahkamah Agung RI, Nomor 14 Tahun 2009 Tentang Pembinaan Personil Hakim. Dimana salah satu poin di dalamnya memerintahkan para Ketua Pengadilan Tingkat Banding hendaknya menjaga terjadinya disparitas putusan. Pada pelaksanaannya, Surat Edaran yang sudah diterbitkan Mahkamah Agung seolah-olah berjalan tanpa pengawasan dan evaluasi. Di sisi lain, untuk mereduksi terjadinya disparitas pemidanaan bukan hanya tanggung jawab Mahkamah Agung saja. Tetapi juga, ada para penuntut umum dalam kaitannya melakukan penuntutan di Pengadilan, yang dalam hal ini adalah Kejaksaan Agung dan KPK. Metode penelitian yang digunakan meliputi spesifikasi penelitian berupa penelitian deskriptif, jenis penelitiannya adalah penelitian yuridis normatif, metode pendekatan berupa pendekatan perundang-undangan, teknik pengumpulan data berupa studi literatur, dan metode analisis data dilakukan secara kualitatif terhadap dampak disparitas pidana terhadap tindak pidana korupsi dan usaha mengatasinya serta penelitian ini bersifat diskriptif analisis dengan menggunakan analisa data dilakukan secara kualitatif. Hasil penelitian permasalahan pertama bahwa disparitas akan berakibat melakukan gugatan ketidakadilan melalui lembaga peradilan lainnya; dan mempunyai dampak yang luas karena didalamnya terkandung perimbangan konstitusional antara kebebasan individu dan hak negara untuk memidana sehingga bagi masyarakat dan si terpidana yang merasa menjadi korban judicial caprice sebagai akibat disparitas pidana. Permasalahan kedua bahwa faktor terjadinya disparitas pidana terhadap tindak pidana korupsi diantaranya Faktor perundang-undangan, Faktor pribadi hakim, seperti misalnya agama, pendidikan, nilai yang dianut dan moralitas serta mentalitas hakim dan Faktor lingkungan yang mencakup faktor politik dan ekonomi. Sebagai kesimpulan bahwa untuk mengatasi disparitas pidana terhadap tindak pidana korupsi diperlukan adanya pengaturan khusus tentang tujuan dan pedoman pemidanaan yang mencakup bentuk pemidanaan, ukuran pemidanaan, cara pemidanaan, hal-hal yang memberatkan pidana dan meringankan pidana dalam kebijakan formulasi pembentuk undang-undang.

Published

29-04-2022

How to Cite

Azmi, Z. (2022). Disparitas Pemidanaan Pada Perkara Tindak Pidana Korupsi (Studi Kasus Putusan Nomor 125/Pid.Sus. TPK/2018/PN.Bdg. dengan Putusan Perkara Nomor 126/Pid.Sus.-TPK/2018/PN.Bdg.). JURNAL HUKUM MEDIA JUSTITIA NUSANTARA, 10(1), 144–156. https://doi.org/10.30999/mjn.v10i1.1906

Citation Check