Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 Tentang Pengetatan Pemberian Pembebasan Bersyarat Bagi Narapidana Tindak Pidana Korupsi Ditinjau Dari Undang-Undang Pemasyarakatan Nomor 12 Tahun 1995

Authors

  • La Idi Magister Ilmu Hukum, Universitas Islam Nusantara, Indonesia

DOI:

https://doi.org/10.30999/mjn.v11i1.1922

Keywords:

Pembebasan Bersyarat, Narapidana, Tindak Pidana Korupsi

Abstract

Responding to the development of criminal acts of corruption in Indonesia, which
have had a serious impact on state financial losses, the Indonesian government has
implemented policies related to these crimes. One of these policies is the tightening of the
provision of parole for corruption convicts as stipulated in the provisions of Government
Regulation No. 99/2012. However, the enactment of this regulation in its development has
caused many polemics among the public because, on the one hand, the regulation is intended
to fulfill the public's sense of justice; on the other hand, it is considered discriminatory
because it contradicts the purpose of punishment in the correctional system and the
hierarchy of legislation in force in Indonesia. The research method used in this research is
a normative juridical method with a descriptive analysis approach. The type of data used is
secondary data as the main data. From the research results, it obtained: (1) Discrepancies
related to the concept of Justice Collaborator in PP. 99/2012, wherein the regulation states
that "Justice Collaborator" is an absolute requirement that must be met in the context of a
prisoner of certain criminal acts (including convicted corruption convicts) to obtain parole
rights and other rights such as remission. (2) tightening the granting of parole for corruption
convicts as regulated in the provisions of PP. 99/2012 is clearly very contradictory, where
for convicts, corruption is included in the category in Article 43A PP No. 99/2012 to get the
right to parole, there is a distinction in the form of restriction in granting parole. (3)
tightening the granting of rights to certain criminal offenses in PP. 99/2012 also contradicts
Article 28 J of the 1945 Constitution, which clearly mandates that the limitation of certain
rights must be regulated by law and not by government regulation. The conclusions of this
study are as follows: (1) regulations for granting parole to convicts of corruption in the
correctional system in Indonesia begin with Law Number 12 of 1995 concerning
correctional facilities, which is the basis of the implementation of the correctional system;
and (2) tightening the provision of parole for corruption convicts in the implementation of
PP. 99/2012 is not in accordance with the basic concept of the correctional system.

 

Menyikapi perkembangan tindak pidana korupsi yang di Indonesia yang
mengakibatkan dampak serius pada kerugian keuangan Negara, Pemerintah Indonesia
memberlakukan kebijakan-kebijakan terkait tindak pidana tersebut. Salah satu kebijakan
tersebut adalah pengetatan pemberian Pembebasan Bersyarat bagi narapidana tindak pidana
korupsi sebagaimana diatur dalam ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012.
Namun pemberlakukan peraturan tersebut dalam perkembangannya banyak menimbulkan
polemik dikalangan masyarakat, karena disatu sisi peraturan tersebut dimaksudkan untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat, namun disisi lain dianggap diskriminatif karena
bertentangan dengan tujuan pemidanaan dalam sistem pemasyarakatan dan hirarki
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode yuridis normatif dengan pendekatan analisis deskriptif. Jenis
data yang digunakan adalah data sekunder sebagai data utama. Dari hasil penelitian
diperoleh : (1) Ketidaksesuaian terkait konsep Justice Collaborator yang ada dalam PP No.
99/2012, dimana dalam peraturan tersebut Justice Collaborator merupakan syarat yang
mutlak yang harus dipenuhi dalam rangka seorang narapidana tindak pidana tertentu
(termasuk juga narapidana tindak pidana korupsi) untuk mendapatkan hak pembebasan
bersyarat maupun hak lainya seperti remisi. (2) pengetatan pemberian pembebasan bersyarat
bagi narapidana tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam ketentuan PP No. 99 /2012
jelas sangat bertentangan, dimana bagi narapidana tindak pidana korupsi yang termasuk
kategori dalam pasal 43A PP No. 99/2012 untuk mendapatkan hak pembebasan bersyarat
terdapat pembedaan yaitu berupa pengetatan dalam pemberian pembebasan bersyarat. (3)
pengetatan dalam pemberian hak-hak narapidana tindak pidana tertentu dalam pp No.
99/2012 juga bertentangan dengan pasal 28 J UUD 1945, yang secara jelas mengamanahkan
bahwa pembatasan hak-hak tertentu harus diatur dengan Undang-undang, jika melihat pasal
ini jelas pembatasan atau pengetatan dalam pemberian hak-hak narapidana seharusnya jg
harus diatur dalam sebuah undang-undang bukan dengan peraturan pemerintah. Kesimpulan
dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Pengaturan pemberian Pembebasan
Bersyarat bagi narapidana tindak pidana korupsi dalam sistem Pemasyarakatan di Indonesia
berawal pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan yang
merupakan dasar dari pelaksanaan Sistem Pemasyarakatan; dan (2) pengetatan pemberian
pembebasan bersyarat bagi narapidana tindak pidana korupsi dalam implementasi PP No.
99/2012 tidak sesuai dengan konsep dasar Sistem Pemasyarakatan.

Published

30-04-2022

How to Cite

Idi, L. (2022). Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 Tentang Pengetatan Pemberian Pembebasan Bersyarat Bagi Narapidana Tindak Pidana Korupsi Ditinjau Dari Undang-Undang Pemasyarakatan Nomor 12 Tahun 1995. JURNAL HUKUM MEDIA JUSTITIA NUSANTARA, 11(1), 198–206. https://doi.org/10.30999/mjn.v11i1.1922

Citation Check