Perlindungan Hukum Anak Korban Eksploitasi Seksual Komersial Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (Studi Kasus Putusan Nomor:186/Pid.Sus/2018/PN.Grt)

Abstract

Legal protection for victims of Commercial Sexual Exploitation of Children (CSEC) must be sought as much as possible. In this case, the government and police institutions providing legal protection to victims of Commercial Sexual Exploitation of Children have not been running optimally because there are obstacles to providing legal protection. In this connection, the first problem is how effective is the supervision and prevention agency of the government on child protection? Second, how is the special protection system imposed on the government for victims of commercial sexual exploitation of children? The research method used in this paper is the normative juridical approach, which is an approach that examines the law as a rule that is considered in accordance with written legal research. The normative juridical approach is carried out by examining the law and theoretical matters relating to the principles of law, legal history, legal comparison, and the synchronization level regarding issues that will be discussed in this thesis. In conclusion, the government is charged with the obligation and responsibility to provide legal protection for victims of Commercial Sexual Exploitation of Children as stipulated in Article 59 of  Law Number 35 of 2014 Amendment to Law Number 23 of 2002 Concerning Child Protection because it is constitutionally mandated by Article 34 of the 1945 Constitution. There are two types of legal protection for children who are victims: juridical protection and non-juridical protection. Juridical protection through a legislation system is concretely carried out by state institutions such as the Indonesian National Police and the courts. Nonjuridical protection covers the social, health, and education sectors carried out by the Witness Protection Agency, the Ministry of Women's Empowerment and Child Protection and the Ministry of Social Affairs, all of which work together with the community, both individuals and groups such as non-governmental organizations, and most importantly, the participation of parents as stipulated in the child protection law. Then, as a suggestion, the relevant agencies should form a one-stop Technical Implementation Unit (UPTD) so that the implementation of child protection can be immediately handled. Then the government should establish a child-friendly development system and child safety measures to uphold the rights of children, especially in order to avoid the Commercial Sexual Exploitation of Children.

Perlindungan hukum terhadap korban Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA) harus diupayakan semaksimal mungkin. Dalam hal ini Lembaga Pemerintah dan Kepolisian dalam memberikan perlindungan hukum kepada korban Eksploitasi Seksual Komersial Anak belum berjalan maksimal karena terdapat hambatan-hambatan dalam pemberian perlindungan hukum. Sehubungan dengan itu maka identifikasi masalah yang pertama adalah bagaimana efektifitas lembaga pengawasan dan pencegahan oleh Pemerintah terhadap Perlindungan Anak? Kedua, bagaimana sistem perlindungan khusus yang dibebankan kepada pemerintah terhadap korban eksploitasi seksual komersial anak? Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif, yaitu pendekatan yang menelaah hukum sebagai kaidah yang dianggap sesuai dengan penelitian hukum tertulis. Pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan cara menelaah hukum serta hal-hal yang bersifat teoritis yang menyangkut asas-asas hukum, sejarah hukum, perbandingan hukum, taraf sinkronisasi yang berkenaan dengan masalahan yang akan dibahas di dalam tesis ini. Sebagai kesimpulan bahwa pemerintah dibebankan kewajiban dan tanggung jawab untuk memberikan perlindungan hukum bagi korban Eksploitasi Seksual Komersial Anak sebagaimana diatur dalam Pasal 59 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak karena secara Konstitusi diamanatkan oleh Pasal 34 UUD 1945. Sistem perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban ada dua yaitu perlindungan yang bersifat yuridis dan perlindungan yang bersifat non yuridis. Perlindungan bersifat yuridis melalui sistem perundang-undangan secara kongkrit dijalankan oleh lembaga-lembaga negara seperti Kepolisian Republik Indonesia dan pengadilan. Sedangkan perlindungan yang bersifat non yuridis meliputi bidang sosial, kesehatan, dan pendidikan yang dijalankan oleh Lembaga Perlindungan Saksi, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan serta Kementerian Sosial yang kesemuanya bekerja sama dengan masyarakat baik individu maupun kelompok seperti Lembaga Swadaya Masyarakat, dan yang terpenting adalah peran serta dari orang tua seperti yang tertuang dalam undang-undang perlindungan anak. Kemudian sebagai saran agar instansi yang terkait untuk membentuk Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) satu atap sehingga penyelenggaraan perlindungan anak segera tertangani. Kemudian pemerintah seharusnya membentuk suatu sistem pembangunan yang ramah pada anak dan keselamatan anak guna menjunjung tinggi hak-hak anak terutama agar terhindar dari Ekploitasi Seksual Komersial Anak.